Kata
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkaitan dengan menatap Alloh Subhaanahu wa
Ta’ala kelak di akhirat: “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga
dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang
bekerja keras untuk mendapatkannya.”
Nabi Musa as pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Alloh Subhaanahu wa Ta’ala seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’rof:
Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
yang pertama-tama beriman.”
Setidaknya ada 7 pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas:
1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa as bahwa ia meminta sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Alloh Subhaanahu wa Ta’ala
.
2. Alloh tidak memungkiri permintaan Nabi Musa as.
3. Alloh menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
4.
Alloh Maha Kuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya,
dan ini bukan hal mustahil bagi Alloh, itu merupakan hal yang mungkin.
Hanya saja dalam hal ini Alloh juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah
(melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan sesuatu yang mustahil,
sudah tentu Alloh tidak akan mempersyaratkan hal itu.
5.
Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya
melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri
kepada gunung, bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para
nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat
itu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. memberitahu kepada Nabi Musa as bahwa
gunung saja tidak mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih
lemah dari gunung.
7. Alloh swt. telah berbicara dengan
Nabi Musa as. Nabi Musa as juga telah mendengar perkataan Alloh
Subhaanahu wa Ta’ala. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti
sangat bisa.
Diantara beberapa dalil tentang bertemu Alloh kelak di akhirat sbb:
1. QS Al-Baqarah 223:
…Dan
bertakwalah kepada Alloh dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
2. QS Al-Ahdzab 44:
Salam
penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka
menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi
mereka.
3. QS Al-Kahfi 110:
Katakanlah:
Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
4. QS Al-Baqarah 249:
…”
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan
yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar.”
Sebagian muslim ada yang mengatakan mustahil melihat Alloh dengan menyandarkan alasan/dalil pada QS Al-An’am 103:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.
Kata
Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Alloh bisa dilihat
daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Alloh menyebutkannya dalam
konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-Nya
adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada, maka tidak
sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”
Ibnu Taimiyah
menambahkan, “Hanya saja Alloh itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu
bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian
terhadap diri-Nya dengan menafikan kantuk dan tidur yang mencakup
kesempurnaan terus-menerusnya Alloh mengurus makhluk-Nya; menafikan
kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan
letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”
Ibnu Taimiyah lalu
menegaskan, “Oleh karena itu, Alloh tidak memuji diri-Nya dengan
ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang
ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan dengan
ketiadaan itu.
Suatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa
disifati dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika
saja yang dimaksud oleh firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala laa tadrikuhu
al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam kondisi apa pun,
maka dalam hal ini tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang
tiada juga demikian. Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan
tidak bisa ditangkap dengan penglihatan, sedangkan Alloh Subhaanahu wa
Ta’ala jelas Maha Tinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga terdapat
pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari ayat di
atas adalah bahwa Alloh Subhaanahu wa Ta’ala tetap bisa dilihat namun
tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”
Maka,
kata Ibnu Taimiyah, “Firman Alloh laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan
puncak dari keagungan Alloh. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala
sesuatu. Dan juga, karena keagungan-Nya, Dia tidak bisa ditangkap atau
dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih dalam daripada
ru’yah (melihat).”
Alloh menyeru (manusia) ke Darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada “pahala yang
baik” (surga) dan “tambahannya”. Dan muka mereka tidak ditutupi debu
hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)
Menurut Ibnu Qoyyim,
yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah al-jannah (surga),
sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan) adalah memandang
wajah Alloh Yang Mulia. Ini adalah tafsir Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi
wa Salam atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
Shohih-nya.
Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi wa Salam membaca ayat
lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu bersabda, “Jika ahli surga
sudah masuk ke dalam surga, demikian juga ahli neraka sudah masuk ke
dalam neraka, maka ada seorang malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga,
sesungguhnya kalian telah dijanjikan di sisi Alloh, maka sekarang Alloh
hendak menunaikan janji itu kepada kalian.
Mereka berkata: apakah
janji itu? Bukankah Dia telah membuat berat timbangan kebaikan kami dan
telah membuat putih (cerah) wajah kami, serta telah memasukkan kami ke
dalam surga dan mengeluarkan kami dari neraka? Akhirnya, tabir pun
dibuka lalu mereka bisa melihat kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu
yang telah Dia berikan kepada ahli surga yang lebih mereka cintai
daripada melihat kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan az-ziyadah.”
Ali
bin Abi Thalib rodhialloohu ‘anhu dan Anas bin Malik berkata, “Yang
dimaksud adalah melihat Wajah Alloh Subhaanahu wa Ta’ala.” saat
menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid, mereka
di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada
tambahannya. (Qaf: 35).
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Robb-Nya. (Al-Qiyamah: 22-23)
Ayat
ini menegaskan dengan gamblang bahwa Alloh akan dilihat dengan mata
kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak
hadits berderajat mutawatir.
Hadits Abu Hurairah rodhialloohu
‘anhu dan Abu Sa’id dalam Shohihain menceritakan bahwa para sahabat
bertanya, “Ya Rosululloh, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari
kiamat?” Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi wa Salam menjawab, “Apakah
kalian mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?” Mereka
menjawab, “Tidak, ya Rosululloh.” Beliau Sholalloohu ‘alaihi wa Salam
bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat matahari
pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau Sholalloohu
‘alaihi wa Salam kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat
Robb kalian.”
Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Alloh pada hari kiamat nanti dengan mata kepala mereka.”
Karena
melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala adalah suatu bentuk kenikmatan yang
diidam-idamkan banyak manusia, maka sudah barang tentu hanya manusia
tertentu yang mendapat kenikmatan tersebut sebagai ganjaran dari amal
sholih mereka selama hidup didunia. Dan sudah barang tentu tidak atau
belum bisa didapatkan oleh mereka-mereka yang menjadi ahli (penduduk)
neraka.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak,
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Robb mereka. (Al-Muthaffifin: 14-15)
Dan salah satu bagian
dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir adalah mereka
terhalang untuk melihat Alloh dan terhalang dari mendengar
perkataan-Nya.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan
tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang dari melihat Robb mereka
karena mereka adalah orang-orang yang dibenci atau dimurkai Alloh, maka
ini menjadi bukti bahwa wali Alloh itu akan melihat Alloh karena Alloh
meridhoi mereka.”
Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?”
Ia
menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri di
hadapan Alloh. Kalau saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia
akan melihat Alloh tentu ia tidak mau menghambakan diri kepada-Nya.”
Demikian
sekitar bertemu/melihat Alloh swt diakhirat kelak. Hampir semua ulama
sepakat bahwa melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala adalah salah satu
kenikmatan yang dijanjikan-Nya kepada para hamba-hamba-Nya yang sholih,
dan janji tersebut tidak berlaku bagi mereka-mereka yang dimurkai-Nya
atau mereka-mereka yang sedang berada di neraka.
Walloohu a’lamu bish-showab
SALAM UKHUWAH FILLAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar