Suara Rakyat, Jum'at 18 Nopember 2011
Paradoks Pembangunan
Proses “transformasi structural” dari sector agraris ke industry, atau pun pergeseran dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, ditengarai membawa beragam dampak yang menyertainya. Bukan saja “memudarkan” nilai-nilai lokalitas yang selama ini tumbuh dalam kehidupan masyarakat, namun yang lebih nyata lagi, ternyata proses itu pun melahirkan tuntutan dan aspirasi baru bagi para pengambil kebijakan di berbagai negara. Salah satu nya adalah terkait dengan istilah “paradox pembangunan”.
Perdebatan soal “paradox pembangunan”, dalam dua dasa warsa terakhir tampak mengemuka menjadi kajian serius para perencana pembangunan di berbagai negara, khususnya negara-negara yang sedang membangun. Diskursus antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan semakin membengkaknya angka pengangguran dan kemiskinan massa, melahirkan beragam penggugatan terhadap proses pembangunan yang dilakukan. Termasuk di dalamnya yang terkait dengan paradox di bidang pembangunan pertanian itu sendiri.
Di negara kita, istilah “paradox pembangunan pertanian” seringkali muncul menjadi topic pembahasan yang menghangatkan. Esensi dari paradox tersebut antara lain : sumber daya pertanian yang dimiliki sangat melimpah, namun seiring dengan itu jumlah petani miskin pun tetap cukup tinggi. Lalu muncul pertanyaan mengapa kita tidak mampu melepaskan diri dari paradox yang demikian ?
Persoalan semacam ini, tentu bukan sebuah “tebak-tebakan”, manakala kita serius untuk mencari solusinya. Paradoks pembangunan pertanian adalah suasana riel yang dapat dirasakan. Indonesia yang dikenali sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam dan berlimpah sumber daya manusianya, tidak seharusnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal.
Dengan segudang potensi yang dimilikinya, khususnya yang terkait dengan sumber daya pertanian yang dimiliki, Indonesia mestilah mampu tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Hal seperti ini, sebenarnya telah mampu kita buktikan. Tepatnya, tatkala bangsa kita mampu memproklamirkan diri sebagai Negara yang telah mampu berswasembada beras pada tahun 1984/1985 lalu.
Mengacu pada logika berpikir yang demikian inilah, maka dalam rangka membangun negara dan bangsa yang benar-benar mampu berjaya di sektor pertanian, tentu sangat dibutuhkan adanya kemauan politik sekaligus tindakan politik yang sungguh-sungguh dan betul-betul menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap masa depan pembangunan pertanian serta nasib kaum tani nya itu sendiri.
Salam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar