Rabu, 06 Juli 2011

KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN

 Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkaitan dengan menatap Alloh Subhaanahu wa Ta’ala kelak di akhirat: “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”

Nabi Musa as pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Alloh Subhaanahu wa Ta’ala seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’rof:
 Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”


Setidaknya ada 7 pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas:
 1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa as bahwa ia meminta sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Alloh Subhaanahu wa Ta’ala
 .
 2. Alloh tidak memungkiri permintaan Nabi Musa as.

3. Alloh menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”

4. Alloh Maha Kuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya, dan ini bukan hal mustahil bagi Alloh, itu merupakan hal yang mungkin. Hanya saja dalam hal ini Alloh juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan sesuatu yang mustahil, sudah tentu Alloh tidak akan mempersyaratkan hal itu.

5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung, bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?

6. Di ayat itu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. memberitahu kepada Nabi Musa as bahwa gunung saja tidak mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung.

7. Alloh swt. telah berbicara dengan Nabi Musa as. Nabi Musa as juga telah mendengar perkataan Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.

Diantara beberapa dalil tentang bertemu Alloh kelak di akhirat sbb:

1. QS Al-Baqarah 223:
 …Dan bertakwalah kepada Alloh dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

2. QS Al-Ahdzab 44:
 Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.

3. QS Al-Kahfi 110:
 Katakanlah: Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

4. QS Al-Baqarah 249:
 …” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Sebagian muslim ada yang mengatakan mustahil melihat Alloh dengan menyandarkan alasan/dalil pada QS Al-An’am 103:
 Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.

Kata Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Alloh bisa dilihat daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Alloh menyebutkannya dalam konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-Nya adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada, maka tidak sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”

Ibnu Taimiyah menambahkan, “Hanya saja Alloh itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian terhadap diri-Nya dengan menafikan kantuk dan tidur yang mencakup kesempurnaan terus-menerusnya Alloh mengurus makhluk-Nya; menafikan kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”
 Ibnu Taimiyah lalu menegaskan, “Oleh karena itu, Alloh tidak memuji diri-Nya dengan ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan dengan ketiadaan itu.

Suatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa disifati dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja yang dimaksud oleh firman Alloh Subhaanahu wa Ta’ala laa tadrikuhu al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam kondisi apa pun, maka dalam hal ini tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang tiada juga demikian. Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap dengan penglihatan, sedangkan Alloh Subhaanahu wa Ta’ala jelas Maha Tinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga terdapat pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari ayat di atas adalah bahwa Alloh Subhaanahu wa Ta’ala tetap bisa dilihat namun tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”

Maka, kata Ibnu Taimiyah, “Firman Alloh laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan puncak dari keagungan Alloh. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala sesuatu. Dan juga, karena keagungan-Nya, Dia tidak bisa ditangkap atau dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih dalam daripada ru’yah (melihat).”

Alloh menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada “pahala yang baik” (surga) dan “tambahannya”. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)

Menurut Ibnu Qoyyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah al-jannah (surga), sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan) adalah memandang wajah Alloh Yang Mulia. Ini adalah tafsir Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi wa Salam atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya.
 Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi wa Salam membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu bersabda, “Jika ahli surga sudah masuk ke dalam surga, demikian juga ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada seorang malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah dijanjikan di sisi Alloh, maka sekarang Alloh hendak menunaikan janji itu kepada kalian.
 Mereka berkata: apakah janji itu? Bukankah Dia telah membuat berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih (cerah) wajah kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan kami dari neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu yang telah Dia berikan kepada ahli surga yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan az-ziyadah.”

Ali bin Abi Thalib rodhialloohu ‘anhu dan Anas bin Malik berkata, “Yang dimaksud adalah melihat Wajah Alloh Subhaanahu wa Ta’ala.” saat menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid, mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya. (Qaf: 35).
 Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Robb-Nya. (Al-Qiyamah: 22-23)

Ayat ini menegaskan dengan gamblang bahwa Alloh akan dilihat dengan mata kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak hadits berderajat mutawatir.
 Hadits Abu Hurairah rodhialloohu ‘anhu dan Abu Sa’id dalam Shohihain menceritakan bahwa para sahabat bertanya, “Ya Rosululloh, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” Rosululloh Sholalloohu ‘alaihi wa Salam menjawab, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?” Mereka menjawab, “Tidak, ya Rosululloh.” Beliau Sholalloohu ‘alaihi wa Salam bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat matahari pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau Sholalloohu ‘alaihi wa Salam kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat Robb kalian.”
 Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Alloh pada hari kiamat nanti dengan mata kepala mereka.”

Karena melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala adalah suatu bentuk kenikmatan yang diidam-idamkan banyak manusia, maka sudah barang tentu hanya manusia tertentu yang mendapat kenikmatan tersebut sebagai ganjaran dari amal sholih mereka selama hidup didunia. Dan sudah barang tentu tidak atau belum bisa didapatkan oleh mereka-mereka yang menjadi ahli (penduduk) neraka.

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Robb mereka. (Al-Muthaffifin: 14-15)

Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir adalah mereka terhalang untuk melihat Alloh dan terhalang dari mendengar perkataan-Nya.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang dari melihat Robb mereka karena mereka adalah orang-orang yang dibenci atau dimurkai Alloh, maka ini menjadi bukti bahwa wali Alloh itu akan melihat Alloh karena Alloh meridhoi mereka.”
 Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?”
 Ia menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri di hadapan Alloh. Kalau saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia akan melihat Alloh tentu ia tidak mau menghambakan diri kepada-Nya.”

Demikian sekitar bertemu/melihat Alloh swt diakhirat kelak. Hampir semua ulama sepakat bahwa melihat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala adalah salah satu kenikmatan yang dijanjikan-Nya kepada para hamba-hamba-Nya yang sholih, dan janji tersebut tidak berlaku bagi mereka-mereka yang dimurkai-Nya atau mereka-mereka yang sedang berada di neraka.

Walloohu a’lamu bish-showab


SALAM UKHUWAH FILLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar